Calon Arang ditulis dalam tradisi karya sastra di Bali.
Di dalam perjalanan sejarah sastra Bali muncul berbagai teks yang bersumber
pada Calon Arang. Ada yang ditulis dengan mempertahankan model asli, ada pula
yang ditransformasikan ke dalam karya yang berbeda, yang disesuaikan dengan
genre dan pandangan hidup penyair pada zaman lahirnya karya tersebut.
Akibatnya, banyak terdapat karya sastra turunan, saduran tentang Calon Arang.
Ada pula Calon Arang berbentuk prosa, ada pula yang berbentuk puisi, yaitu kidung
dan geguritan/parikan.
Kajian ini bertujuan melacak dan menentukan mata rantai
teks Calon Arang prosa yang berasal dari lingkungan pertapaan zaman Gelgel pada
abad ke-16, yang dimuat pada teks Lor 5387/5279. Teks tersebut apabila
diperbandingkan dengan teks yang lain adalah teks yang lebih tua dari teks
kidung dari zaman Gelgel/Klungkung, yang termuat pada teks Lor 4565, dan
geguritan Kirtya Ivd/1047, karya sastra pada zaman Klungkung abad ke-19. Di
dalam suntingan teks Calon arang, seperti termuat pada Lor 5387/5279, digunakan
teori filologi, dan di dalam pengungkapkan pelacakan teks digunakan teori
sastra yang disebut intertekstualitas, yang dalam bahasa analisisnya
berdasarkan pada tataran kode bahasa, sastra, dan budaya. Kode budaya dikaitkan
dengan zaman teks dan asal mulanya.
Penelitian teks Calon Arang Lor 5387/5279 menunjukkan
tradisi sastra pertapaan/geria di Karangasem dari zaman Gelgel yang berfungsi
sebagai upacara penyucian (ruwat). Di dalam teks ini terjadi proses pem-Bali-an
dalam hal kode bahasa, sastra, dan budaya. Begitu pula, teks Geguritan Calon
Arang Kirtya Ivd/1047 menunjukkan tradisi sastra kraton zaman Klungkung yang
berkembang dan berfungsi “estetis-magis” memperlihatkan proses pem-Bali-an yang
lebih luas dan kompleks dalam pemakaian bahasa, sastra, dan budaya Bali.
Penelitian hubungan tradisi dengan transformasi teks
Calon Arang menunjukkan interaksi yang sangat dinamik, seperti yang ditunjukkan
oleh teks naskah yang berasal dari berbagai tempat di Bali. Ada “teks inti” dan
“pinggiran” yang dikembangkan terus-menerus dari teks Calon Arang prosa Lor
5387/5279 dalam versi kidung Lor 4565, dan versi Geguritan Calon Arang Kirtya
IV/1047. Adanya transformasi ditunjukkan oleh kode bahasa, sastra, dan budaya.
Dari kode bahasa, munculnya kata bahasa Bali, dari kode sastra masuknya
tokoh-tokoh dalam karya sastra tulis dan lisan, serta tambahan yang tidak jelas
sumbernya.
Temuan yang lebih lanjut tentang intertekstualitas
menunjukkan adanya arah pergeseran dan transformasi dari kode bahasa, yaitu
dari bahasa Kawi-Bali ke bahasa Bali yang semakin intensif. Di dalam versi
kidung misalnya, konsep pustaka diubah menjadi aji pamoro, dan di dalam versi
geguritan diubah menjadi sastra dan darma. Konsep manca desa dalam Lor
5387/5279 diubah menjadi catus pata dalam Kidung Calon Arang Lor 4565, dan
nyatur desa dalam Geguritan Calon Arang Kirtya 1047. Di samping itu, ada
perubahan teks dalam panjang pendek episode cerita.
Perubahan penokohan, tema, dan fungsi menunjukkan adanya
transformasi, pergeseran di lingkungan sastra pertapaan menjadi sastra kraton,
di samping adanya kontinuitas zaman yang saling berhubungan secara geneologis.
Mula-mula tradisi Calon Arang berkembang pada zaman Gelgel kemudian zaman
Klungkung, tetapi teks lahir di berbagai tempat di Bali. Fungsi teks Calon
Arang mengalami perubahan. Calon Arang prosa Lor 5387/5279 berfungsi
religius-magis karen aterks itu dipakai sebagai pedoman upacara penyucian
(ruwat), seperti yang diungkapkan teks itu sebagai “Sang Hyang Lipyakara” atau
“pustaka”. Geguritan Calon Arang Kirtya 1047 berfungsi hiburan karena terjadi
perubahan teks dari prosa ke puisi (geguritan) serta pemakaian bahasa Kawi-Bali
ke dalam teks yang semakin tampak pengaruh bahasa Bali, dari segi kode sastra
Geguritan Calon Arang Kirtya 1047 menjadi sastra dan darma. Terjadilah proses
pem-Bali-an terus-menerus dan muncul bentuk baru yang mengarah kepada proses
orthogenetic yaitu perubahan intrinsik teks secara dinamik, sejalan dengan
perkembangan politik, sejarah, seni, dan masyarakat Bali. Disertasi ini sudah
diterbitkan pada tahun 2000
Dramatari calonarang memadukan 3 unsur penting yaituBabarongan yang diwakili oleh Barong Ket, Rangda dan Celuluk, Unsur Pagambuhan diwakili oleh Condong, Putri, Patih Manis (Panji ) dan Patih Keras ( Pandung ) dan Palegongan diwakili oleh Sisiya-sisiya ( murid-murid ). Tokoh penting lainnya dari dramatari ini adalah Matah Gede dan Bondres. Untuk tabuh pengiring , dramatari Calonarang biasanya menggunakan Gamelan Semar Pagulingan namun sering juga dipakai gamelan Gong Kebyar.
Dari segi tempat pementasan, pertunjukan Calonarang biasanya dilakukan dekat kuburan ( Pura Dalem ) dan arena pementasannya selalu dilengkapi dengan sebuah balai tinggi ( trajangan atau tingga ) dan pohon pepaya.
Sejatinya Calonarang adalah nama julukan seorang janda yang bernama Ni Walunateng Dirah dari Desa Dirah wilayah Kerajaan Kediri, Jawa Timur. Calonarang dikenal sangat sakti karena memiliki ilmu pengeleakan. Ia juga mempunyai seorang putri berparas cantik yang bernama Diah Ratna Mangali.
Diah Ratna Mangali ini telah dipinang oleh Raja Airlangga untuk dijadikan Ratu di Kerajaan Kediri. Tetapi pinangan ini kemudian dibatalkan dan Diah Ratna Mangali dikembalikan ke ibunya. Pembatalan peminangan ini dikarenakan Diah Ratna Mangali diduga bisa ngeleak dengan didasarkan pada hukum keturunan yaitu kalau ibunya bisa ngeleak maka anaknya pun akan mewariskan ilmupengeleakan.
Ni Walunateng Dirah merasa tersinggung atas perlakuan yang diterima anaknya. Ia bersama muridnya memohon anugrah kepada Bhatari Dhurga agar dapat membuat wabah penyakit. Apa yang menjadi permohonan Calonarang menjadi kenyataan, wabah penyakit aneh menyerang masyarakat. Setiap saat selalu ada yang meninggal. Kemampuan ilmu pengeleakan Calonarang benar-benar tak tertandingi. Patih Madri pun tidak sanggup menghadapi Ni Rarung, salah satu murid kesayangan Calonarang, dalam suatu adu kekuatan. Patih Madri dibuat buta oleh Ni Rarung yang merubah wujudnya menjadi paksi/burung.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar